Kisah ini
berawal ketika aku tidak diizinkan masuk di sekolah yang kuinginkan.
Pagi itu aku
merasakan kesedihan, karena ibuku tidak memberiku izin bersekolah di SMP yang kupilih.
Sejak kecil aku ingin mendalami ilmu agama dengan baik. Tapi ibuku tidak
tega melihat aku yang masih terlalu kecil untuk jauh dengan orang tua, karena
aku anak terakhir dan juga aku memiliki bulek (sebutan untuk adik perempuan dari
orangtuaku) yang pandai mengaji.
“Mawar, kamu
duduk denganku ya..”ujar Bila teman baruku.
“iya….”balasku
santai.
Semua orang
melihatku dengan pandangan, entah aku sendiri tak mampu menafsirkan. Yang jelas
aku menemukan keramahan pada teman-teman baruku. Dan aku pun berkenalan dengan teman belakang bangkuku,
yang ternyata akan menjadi musuh bebuyutanku. Seorang laki-laki gunung yang pendiam,
dan jika tertawa aku rasa sangat aneh.
Hari-hari
aku lalui dengan wajar-wajar saja hanya
aku kurang begitu suka bicara. Aku mengikuti banyak aktifitas di sekolah
seperti OSIS, teater, pramuka, dan paduan suara, hanya untuk
sekedar iseng-iseng saja, memenuhi rasa penasaran dan tantangan dari saudaraku.
*****
“Jono, kamu
dapat nilai berapa?”tanyaku menyelidik.
“80,
kamu?”dia balas bertanya.
Aku hanya
diam karena nilai kami sama.
Ujian
pertama kami adalah awal pertarungan kami merebut harkat dan
martabat sebagai kesatria. Istilah ini sedikit berlebihan, tapi tak apalah. Dan
seperti sesuatu yang sudah direncanakan, aku mengikuti kursus bahasa inggris
yang sama dengan Jono.
Entah
kenapa, laki-laki gunung ini suka sekali membuatku marah, entah itu pinjam sepedaku untuk
dimainkan rodanya, entah itu memegang jilbabku. Selalu membuatku risih. Dasar
laki-laki gunung yang usil.
Sudah hampir
kenaikan kelas, sikapnya menjadi aneh, dia resah setiap kali aku ada. Dan pada
siang itu, dia memndekati bangkuku yang sudah tidak lagi berdekatan dengannya. Jono bilang suka pada gadis yang ada di
depanya sekarang.
Omong
kosong.
“Kamu
nglindur, Jon??”tanyaku keheranan.
“100%
sadar”,tegasnya.
Semenjak itu
kehangatan dalam pertempuran itu mulai memudar, karena secara diam-diam
aku membututi setiap gerak kakak kelasku sejak awal masuk sekolah dulu. Entah perasaan
apa, aku hanya ingin menjadi pengintai yang handal, seperti Detektif Conan.
Kelas 2, aku
tak lagi sekelas dengan Jono. Ada satu teman kelas ini yang tak pernah kucoba
mengenalnya, Dodo panggilan akrabnya.
Ternyata intaianku sering gagal karena aku sendiri takut
saat aku terpergoki. Tapi anehnya, tak jarang kudapati surat-surat
berwarna-warni yang selalu disampaikan oleh teman-teman dekatku, perasaan yang
selalu menghinggapiku adalah takut, seakan-akan aku diteror. Tanpa harus
membacanya surat itu melayang kedalam tong sampah secara sadis. Aku yang tidak biasa
mendapati surat cinta, tak kuasa untuk memegang apalagi membacanya. Dengan berjalannya
waktu, aku mengumpulkan keberanian membaca surat. Lambat laun, hatiku pun luluh untuk membalas surat-surat
itu.
Di dalam kelas ini, sering kudengar desas-desus mengenai
Dodo yang beginilah-yang begitulah. Dan benar dugaan temanku, dia menyatakan
perasaannya di depanku seusai kutunaikan kewajiban sebagai muslimah.
Aku tak
habis pikir dengan orang-orang itu, sebenarnya apa yang mereka inginkan selain berteman dan
bersahabat waktu itu. Lagipula aku merasa masih kanak-kanak, memang kenyataannya aku masih ingusan
dan tidak mengerti istilah pacaran.
Aku juga
pernah mendapatkan kebaikan yang tak pernah kuduga dari adik kelasku seorang
kristian taat keturunan Tionghoa memberikan hadiah padaku dengan cara memaksaku
untuk menerimanya. Tino namanya, dia menyampaikan perasaannya melalui sahabat
perempuannya padaku.
Bak artis ketiban durian. Dimanapun tempatnya, entah itu
di ruang OSIS, teater dan juga pramuka, selalu aku yang dijadikan pembicaraan
orang-orang, begitu juga para pembinaku. Kelas dua bak godam yang memukul-mukul
kepalaku.
Pagi itu
kudengar kabar dari teman-temanku, Jono jadian dengan teman sekelasnya, seorang
penyanyi dangdut yang cantik. Benar-benar cantik. Tiba-tiba, aku merasakan seakan-akan ada api yang menjalar
keseluruh tubuhku dan berpangkal di ulu hatiku. Entah kenapa, aku merasa,
sakit, sakit sekali, seperti ditusuk sebilah pisau pada ruang dadaku.
Tak
kusangka, dia berpacaran dengan gadis
itu.
*****
Tiap minggu aku menerima surat dari laki-laki yang
menemuiku di jalan saat aku pulang sekolah. Dan hubungan berlanjut, dia adalah
sahabat penaku.
Aku
merasakan ada yang kosong dan sebagian semangatku telah mongering, kakak
kelasku telah lulus. Aku menangis di dalam hati.
“Mawar, sekolah lah di SMAku saat ini”, ujarnya dengan penuh hati-hati.
“Aku tidak bisa janji Mas Zain”, jawabku singkat sambil
berlalu. Karena aku tak tahan berada dekat dengannya, aku takut air mataku
tumpah di depannya.
Kelas 3, aku
sekelas lagi bersama teman-teman kelas 1-ku dulu.
Ya,
Satu kelas
dengan Jono. Dia sudah lama putus dengan pacarnya.
“Gak pacaran
lagi , Jon?”
“Gak, aku
gak akan pacaran lagi sampai lulus SMA”, jawabnya tegas.
Setelah perpisahan dengan teman-teman kelasku.
Aku bersekolah jauh di kota pondok pesantren. Aku tak lagi bertemu dengan teman-temanku. Seakan-akan
aku terasing, padahal tidak, aku hanya jarang bertemu dengan teman-teman SMP –
ku. Agar terlihat mendramatisir saja.
*****
Akhirnya aku
lulus SMA,
Jono
menelponku di ponsel Ibuku, dia benar-benar memenuhi janjinya.
“Kapan kamu membuka hati, terutama untuk aku?”tanyanya dengan sedikit nada kesal padaku.
“Kapan kamu membuka hati, terutama untuk aku?”tanyanya dengan sedikit nada kesal padaku.
“Maksudmu
apa?”
“Apa kamu
langsung menikah dengan sistem perjodohan?”
“Ah, ngawur
kamu, aku belum siap, Jon, kalau harus bermain hati, aku takut aku tak mampu
menjaga nafsuku”
“Baiklah,
jika itu maumu, aku akan menunggu sampai kamu siap”klik..percakapan kami pun
terputus.
Hari ini Jono akan berangkat ke Depok untuk
melanjutkan kuliahnya, dan satu minggu lagi aku juga harus berangkat ke malang
untuk kewajiban baruku sebagai mahasiswa.
Tidak ada
ucapan perpisahan, hanya diam dan puisi-puisi memenuhi ponsel baruku. Aku tidak
bisa berbuat apa-apa.
3 bulan
sudah aku beradaptasi pada dunia baruku yaitu kampus. Hari-hariku dipenuhi
dengan rumus dan angka-angka karena aku mengambil jurusan Fisika.
Kami sudah
jarang berkomunikasi, entah itu hp maupun internet.
Tapi tak
lama kemudian, Jono menghubungiku.
“Mawar,
menurutmu aku tetap di Depok apa aku pindah ke Tangerang?”
“Oh, selamat
ya, kamu lolos seleksi STAN, ya terserah kamu, Jon”.
“Kamu lebih
suka mana cowok STAN apa UI?”
“Wah..aku
gak tau, bukannya dulu kamu pernah bilang ingin masuk STAN?”tanyaku agak
sedikit bingung juga.
“Baiklah,
makasih ya..”
“Buat
apa?”klik…terputus…
Setiap kali
aku diajak ketemuan aku selalu menolak. Dan hari itu Jono jadian dengan
tetangga rumahku yang masih SMA.
Aku jadi
tidak habis pikir dengan sifat manusia yang penuh dengan khilaf. Satu minggu
kemudian, 15 Januari 2010
Suatu hari
burung jatuh cinta pada mawar putih,
Burungpun
berusaha mengungkapkan perasaannya,
Akhirnya,
mawar putih berkata, “ aku akan mencintai kamu, jika kamu dapat mengubahku
menjadi mawar merah!”
Dan suatu hari burung datang kembali, dia
memotong sayapnya dan menebarkan darahnya pada mawar putih, hingga dia berubah
menjadi merah
Akhirnya,
mawar sadar seberapa besar burung mencintai dirinya
Tapi semua
terlambat, karena burung tak akan kembali lagi ke dunia.
Pesan
singkat yang mampu menggetarkan dari ujung rambut sampai ujung kakiku, aku tak lagi mampu menutupi
perasaanku padanya, jika dia tahu, selama ini aku tidak pernah menghapus puisi
atupun syair-syair lagu yang dia kirimkan padaku.
Dan pesan
terakhir darinya:
Jika kamu
menemukan seseorang yang kamu cintai di sana, aku hanya berdoa semoga itu yang
terbaik untukmu, karena aku sungguh takut mengecewakanmu, dan aku berharap
suatu saat nanti hati kita bisa menjadi satu.
Malang, 1
Mei 2011
12:51 pm (cerpen editan)