Jumat, 14 Desember 2012

PENUMBUHAN KRISTAL


Dalam penumbuhan kristal hal yang paling penting adalah nukleasi dan kinatika pertumbuhannya. Nukleasi sangat penting karena untuk memaksimumkan untuk bias terbentuk Kristal tunggal yang sempurna dari pada membuat polikristal.

ANALISIS DIAGRAM FASE


1.     Diagram Fasa Biner
Yaitu terdiri dari dua komposisi dan dua temperatur

Gambar Diagram fasa

Deformasi dan Elastisitas


Deformasi adalah perubahan bentuk, dimensi dan posisi dari suatu materi baik merupakan bagian dari alam ataupun buatan manusia dalam skala waktu dan ruang
Deformasi terdiri dari dua bagian,yaitu deformasi elastis dan deformasi plastis. Deformasi elastis adalah perubahan bentuk material yang apabila gaya penyebab deformasi itu dihilangkan maka deformasi

PARTIKEL ALFA

SKALAR,VEKTOR DAN TENSOR



Skalar, vektor dan tensor merupakan besaran-besaran dalam fisika. Skalar adalah besaran yang hanya memiliki besar saja. Vektor adalah besaran yang memiliki besar dan arah. Pada dasarnya tensor merupakan bentuk umum dari skalar dan vektor.

Rabu, 12 Desember 2012

PEMANFAATAN TEKNOLOGI NUKLIR


    A.    Dalam Bidang Kedokteran :
    1.      STERILISASI RADIASI.
Radiasi dalam dosis tertentu dapat mematikan mikroorganisme sehingga dapat digunakan untuk sterilisasialat-alat kedokteran.

Senin, 10 Desember 2012

Pemanfaatan Energi Nuklir dan PLTN


Latar belakang

Bila kita melihat berbagai aktivitas kehidupan, kita tidak akan pernah terlepas dari ketergantungan makhluk hidup terhadap energi.
Kebutuhan akan energi menjadi semakin penting abad ini. seiring dengan menipisnya sumber daya alam yang tersedia dan dampak dari aktivitas pemanfaatan energi tersebut bagi kehidupan. Untuk melakukan aktivitas hidup manusia di level yang

Kamis, 29 November 2012

PROSES SINTERING


Sintering merupakan pemanasan material / bahan dengan cara memanaskannya tidak  sampai melampaui titik lelehnya.

Solid State Sintering merupakan sintering yang dilakukan pada material padat yang bertujuan untuk memperbaiki struktur / kualitas material tersebut.

Senin, 26 November 2012

Definisi Polimer

ISTILAH
KETERANGAN
Polimer
Senyawa     makromolekul       yang     terbentuk      dari susunanulangmolekulkecil(monomer)yangsaling berikatan
Polimerisasi
Reaksi    penggabungan       dari    monomer-monomer
menjadi polimer
Polimerisasiadisi
Pembentukanpolimer yang berdasarkanreaksiadisi, dan terjadi padamonomeryangmempunyaiikatan rangkap
Polimerisasi kondensasi
Pembentukan     polimedimana       dua    atau    lebih monomer bergabung membentuk molekul yang
lebihbesardenganmelepassuatumolekulkecil, seperti H2O,NH3,danCH3OH
Homopolimer
Polimer yang terbentukdari satujenis monomer
Kopolimer
Polimer     yang      terbentuk       lebih      dari     sejenis monomer
PlastikTermoset
Plastikyangmudahmengerasjikadipanaskandan
tidakdapatdilunakkanlagi.
Plastiktermoplas
Plastik     yang     melunak      jika     dipanaskan       dan mengeras jikadidinginkan.


STRUKTUR DAN NOMENKLATUR (TATA NAMA) POLIMER


1.4.1.5  STRUKTUR DAN NOMENKLATUR (TATA NAMA) POLIMER
Begitu besar molekul-molekul penyusun polimer dan tidak hanya dari satu jenis polimer saja, namun dapat pula terdiri dari beberapa unit polimer seperti yang sudah kita bahas sebelumnya. Penamaan polimer didasari oleh atas nama monomernya baik dari nama sumber ataupun nama umum, yang kedua didasari atas taktisitas dan isomernya.
Untuk nama polimer yang didasari atas nama monomernya adalah polimer yang disusun oleh satu kata monomer. Penamaan dilakukan dengan memberikan awal kata poli pada nama monomernya. Misalnya untuk polimer dengan monomer stirena, maka nama polimer tersebut adalah polistirena. Penamaan berubah jika nama monomer lebih dari satu kata atau didahului sebuah huruf atau angka. Penamaan dilakukan dengan meletakkan nama monomer didalam kurung dan diawali dengan kata poli, sebagai contoh, jika monomernya adalah asam akrilat, maka penamaan polimer menjadi poli(asam akrilat).
Penamaan berdasarkan taktisitas (keteraturan ruang), diawali dengan huruf i untuk isotaktik  Bila diujung rantai polimer setiap atom karbon asimetri berkonfigurasi ruang sama (D dan L)   atau huruf s untuk sindiotaktik bila ada dua atom karbon asimetri berdekatan berkonfigurasi ruang atau bangunan (D dan L). Sebagai contoh kita tuliskan nama senyawa i-polistiren, maka hal ini mengindikasikan Bahwa, polimer disusun oleh monomer stiren dimana kedudukan atau posisi gugus fenilnya sama.  Penamaan berdasarkan isomer structural geometriknya ditunjukkan dengan menggunakan awaan cis atau trans serta dengan menyebutkan angka unuk posisi sebelum kata poli. Untuk lebih mudah memahaminya, kita ambil contoh nama berdasarkan isomer seperti trans-1,4-poli(1,3-butadiena).
Tata polimer yang ditetapkan oleh Nomenklatur IUPAC Komite (8.9). Juga merekomendasikan penamaan polimer yang diambil dari struktur unit dasar. Aturan tersebut adalah : Pengidentifikasian unit structural terkecil (CRU), Sub unit CRU ditetapkan prioritasnya berdasarkan ikatan dan ditulis prioritasnya menurun dari kiri ke kanan, Substituen-substituen diberi nomer dari kiri ke kanan, Nama CRU diletakkan dalam kurung, dan diawali dengan poli.  Untuk lebih mudahnya perhatikan contoh penamaan seperti didalam table dibawah ini


NMR Spectroscopy



Spektroskopi Resonance Nuklir Magnetic adalah alat analisis yang kuat dan secara teoritis kompleks. Pada halaman ini, kita akan membahas teori dasar di balik teknik ini. Penting untuk diingat bahwa, dengan NMR, kita melakukan percobaan pada inti atom, bukan elektron. Lingkungan kimia inti tertentu disimpulkan dari informasi yang diperoleh tentang inti atom.


Kegunaan NMR
Banyak informasi yang dapat diperoleh dari spektra NMR. Pada umumnya metode ini berguna sekali untuk mengidentifikasi struktur senyawa atau rumus bangun molekul senyawa organik. Meskipun Spektroskopi Infra Merah juga dapat digunakan untuk tujuan tersebut, analisis spektra NMR mampu memberikan informasi yang lebih lengkap.
Dampak spektroskopi NMR pada senyawa bahan alam sangat penting. Ini dapat digunakan untuk mempelajari campuran analisis, untuk memahami efek dinamis seperti perubahan pada suhu dan mekanisme reaksi, dan merupakan instrumen tak ternilai untuk memahami struktur dan fungsi asam nukleat dan protein. Teknik ini dapat digunakan untuk berbagai variasi sampel, dalam bentuk padat atau pun larutan.

Prinsip Kerja NMR Spectroscopy
Metode spektroskopi jenis ini didasarkan pada penyerapan energi oleh partikel yang sedang berputar di dalam medan magnet yang kuat. Energi yang dipakai dalam pengukuran dengan metode ini berada pada daerah gelombang radio 75-0,5 m atau pada frekuensi 4-600 MHz, yang bergantung pada jenis inti yang diukur.
Inti yang dapat diukur dengan NMR yaitu :
a. Bentuk bulat
b. Berputar
c. Bilangan kuantum spin = ½
d. Jumlah proton dan netron ganjil, contoh : 1H, 19F, 31P, 11B, 13C
Di dalam medan magnet, inti aktif NMR (misalnya 1H atau 13C) menyerap pada frekuensi karakteristik suatu isotop. Frekuensi resonansi, energi absorpsi dan intensitas sinyal berbanding lurus dengan kekuatan medan magnet. Sebagai contoh, pada medan magnet 21 tesla, proton beresonansi pada 900 MHz. nilai magnet 21 T dianggap setara dengan magnet 900 MHZ, meskipun inti yang berbeda beresonansi pada frekuensi yang berbeda.
Di Medan magnet bumi, inti yang sama beresonansi pada frekuensi audio. Fenomena ini dimanfaatkan oleh spektrometer NMR medan bumi, yang lebih murah dan mudah dibawa. Instrumen ini biasa digunakan untuk keperluan kerja lapangan dan pengajaran.

ALAT PENGUKURAN SIFAT MAGNETIK


MODEL KRITIS
          Dalam hal penentuan keadaan kritis dalam bahan superkonduktor, terdapat dua metode yang sering digunakan, yaitu metode magnetisasi dan metode sederhana four point probe (MFPP). Untuk metode magnetisasi ada beberapa model yang dapat menjelaskan hubungan antara magnetisasi dengan keadaan kritis bahan. Diantaranya yaitu model bean, model Kim dan kawan-kawan dan model lainnya. Model-model tersebut dalam penerapannya memiliki dimensi sampel dan faktor koreksi tertentu, sehingga setiap literatur ilmiah yang memanfaatkan metode ini pada umumnya mencantumkan model yang digunakan, dimensi sampel dan faktor koreksinya. Misalnya histeris kelajuan yang telah diamati oleh Ledbetter dan Kim (1988) pada bahan YBa2Cu3O7-δ. Sampel yang mempunyai densitas relatif 94% dan Tc = 91.4 K telah diukur kelajuan gelombang mendatar dan kelajuan gelombang geser pada frekuensi 5 MHz. Hasil pengukuran diperoleh bahwa ketiga-tiga kuantitas modulus geser, modulus pukal, dan nisbah Poisson menunjukkan histerisis.  Modulus  pukal  mempunyai  nilai  histerisis  yang  lebih  besar daripada modulus geser. Histerisis ini mencadangkan perubahan fasa pada bahan YBa2Cu3O7-δ.
Berikut penjelasan tentang berbagai macam model dalam penentuan keadaan kritis bahan superkonduktor :
Ø  METODE FOUR POINT PROBE
Disebut probe empat titik, karena ada empat titik kontak yang disentuhkan pada permukaan sampel. Keempat titik kontak (probe) itu dibuat berderet dalam satu garis lurus dengan jarak antar probe diatur sedemikian rupa sehingga satu sama lain mempunyai jarak yang sama. Arus listrik yang konstan dialirkan sepanjang permukaan sampel melalui dua probe terluar. Jika sampel mempunyai resistansi, maka akan ada penurunan tegangan ketika arus mengalir sepanjang sampel tersebut. Perubahan tegangan tersebut diukur melalui dua probe bagian dalam [8,10]. Besaran fisis yang menunjukkan fenomena superkonduktivitas bahan, seperti suhu tansisi kritis (Tc), rapat arus kritis (Jc), dan medan magnet kritis (Hc) dapat ditentukan secara teliti dengan metode four point probe tersebut.
Ø  METODE MAGNETISASI
A.     MODEL BEAN
Model ini ini menghubungkan keadaan transport listrik tanpa hambatan / disipasi dengan efek histerisis dalam proses magnetisasi. Sehingga Jc dapat ditentukan dari pengukuran kurva magnetisasi sampel yang bersangkutan. Gagasan bean ini sebagai berikut :
Saat dalam keadaan campuran yaitu Hc1 < H < Hc2 superkonduktor akan kemasukan medan magnet yang dibendung dalm bentuk vorteks. Keadaan kritis ini akan terjadi bila J mencapai nilai kritis Jc yang memenuhi persamaan Fp = J x B. Dengan bantuan hukum amper maka  J x B = , H = 1 / μ B
            Karena keadaan tersebut tidak bergantung pada arah arus sehingga ditulis sbb :
                        kekuatan “pinning” dianggap tak bergantung pada B dalam superkonduktor, dan begitu pula Jc. Sehingga Jc hanya ditentukan olh slope atau variasi maksimum dari B dalam sapel yang bersangkutan dengan syarat batas B = pada permukaan bahan. Kehadiran pinning disisni merupakan penyebab efek histerisis atau ireversibilitas dalam proses magnetisasi / demagnetisasi.  Untuk kasus ini dapat dituliskan medan rerata B dalam bentuk :
 dimana Jc konstan ( tak tergantung pada B) dan syarat batas .
Jadi model bean ini memberikan penjelasan fenomenologis untuk magnetisasi histeresis tipe-II superkonduktor dalam temporal berbagai medan magnet eksternal.
B.     MODEL KIM
Bean menawarkan model keadaan kritis untuk menggambarkan magnetisasi superkonduktor yaitu dengan mengasumsikan bahwa kerapatan arus kritis tidak bergantung pada medan magnet. Pada tahun yang sama Kim,Hempstead dan Strnad memperluas model Bean dengan memasukkan medan magnet ketergantungan dalam rapat arus kritis. Efek medan magnet yang diterapkan pada arus kritis pada suhu tinggi sangat berhubungan dengan struktur vorteks. Medan magnet dalam ini dihasilkan oleh arus yang diinduksi dalam sampel. Berikut persamaan yang menjelaskan tentang arus kritis dan medan magnet yang diberikan pada superkonduktor menurut model kim. 
 Dimana a dan Ho adalah konstanta yang didapat dari eksperimen dan H adalah medan magnet yang diberikan.  Akan tetapi persamaan ini tidak cocok untuk medan magnet yang bergantung pada arus kritis saat temperatur tinggi, sehingga model ini dikembangkan lagi dengan mengasumsikan a/ j sebanding dengan Hn dan medan magnet bergantung pada arus kritis maka didapatkan persamaan model kim sbb:
 dimana JcKIM (H) adalah kerapatan arus kritis dalam model Kim.  Akan tetapi model Kim tidak berjalan dengan praktis. Ada dua alasan utama untuk kegunaan kurang praktis dari model Kim. Yang pertama adalah dua konstanta k dan H0 yang terlibat dalam model ini hanya memiliki satu persamaan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa model bentuk perkolasi kritis adalah sebuah pendekatan alternatif untuk menggambarkan bentuk HTS.



C.     MODEL EKSPONENSIAL
1.      Medan yang meningkat
MODEL KRITIS
          Dalam hal penentuan keadaan kritis dalam bahan superkonduktor, terdapat dua metode yang sering digunakan, yaitu metode magnetisasi dan metode sederhana four point probe (MFPP). Untuk metode magnetisasi ada beberapa model yang dapat menjelaskan hubungan antara magnetisasi dengan keadaan kritis bahan. Diantaranya yaitu model bean, model Kim dan kawan-kawan dan model lainnya. Model-model tersebut dalam penerapannya memiliki dimensi sampel dan faktor koreksi tertentu, sehingga setiap literatur ilmiah yang memanfaatkan metode ini pada umumnya mencantumkan model yang digunakan, dimensi sampel dan faktor koreksinya. Misalnya histeris kelajuan yang telah diamati oleh Ledbetter dan Kim (1988) pada bahan YBa2Cu3O7-δ. Sampel yang mempunyai densitas relatif 94% dan Tc = 91.4 K telah diukur kelajuan gelombang mendatar dan kelajuan gelombang geser pada frekuensi 5 MHz. Hasil pengukuran diperoleh bahwa ketiga-tiga kuantitas modulus geser, modulus pukal, dan nisbah Poisson menunjukkan histerisis.  Modulus  pukal  mempunyai  nilai  histerisis  yang  lebih  besar daripada modulus geser. Histerisis ini mencadangkan perubahan fasa pada bahan YBa2Cu3O7-δ.
Berikut penjelasan tentang berbagai macam model dalam penentuan keadaan kritis bahan superkonduktor :
Ø  METODE FOUR POINT PROBE
Disebut probe empat titik, karena ada empat titik kontak yang disentuhkan pada permukaan sampel. Keempat titik kontak (probe) itu dibuat berderet dalam satu garis lurus dengan jarak antar probe diatur sedemikian rupa sehingga satu sama lain mempunyai jarak yang sama. Arus listrik yang konstan dialirkan sepanjang permukaan sampel melalui dua probe terluar. Jika sampel mempunyai resistansi, maka akan ada penurunan tegangan ketika arus mengalir sepanjang sampel tersebut. Perubahan tegangan tersebut diukur melalui dua probe bagian dalam [8,10]. Besaran fisis yang menunjukkan fenomena superkonduktivitas bahan, seperti suhu tansisi kritis (Tc), rapat arus kritis (Jc), dan medan magnet kritis (Hc) dapat ditentukan secara teliti dengan metode four point probe tersebut.
Ø  METODE MAGNETISASI
A.     MODEL BEAN
Model ini ini menghubungkan keadaan transport listrik tanpa hambatan / disipasi dengan efek histerisis dalam proses magnetisasi. Sehingga Jc dapat ditentukan dari pengukuran kurva magnetisasi sampel yang bersangkutan. Gagasan bean ini sebagai berikut :
Saat dalam keadaan campuran yaitu Hc1 < H < Hc2 superkonduktor akan kemasukan medan magnet yang dibendung dalm bentuk vorteks. Keadaan kritis ini akan terjadi bila J mencapai nilai kritis Jc yang memenuhi persamaan Fp = J x B. Dengan bantuan hukum amper maka  J x B = , H = 1 / μ B
            Karena keadaan tersebut tidak bergantung pada arah arus sehingga ditulis sbb :
                        kekuatan “pinning” dianggap tak bergantung pada B dalam superkonduktor, dan begitu pula Jc. Sehingga Jc hanya ditentukan olh slope atau variasi maksimum dari B dalam sapel yang bersangkutan dengan syarat batas B = pada permukaan bahan. Kehadiran pinning disisni merupakan penyebab efek histerisis atau ireversibilitas dalam proses magnetisasi / demagnetisasi.  Untuk kasus ini dapat dituliskan medan rerata B dalam bentuk :
 dimana Jc konstan ( tak tergantung pada B) dan syarat batas .
Jadi model bean ini memberikan penjelasan fenomenologis untuk magnetisasi histeresis tipe-II superkonduktor dalam temporal berbagai medan magnet eksternal.
B.     MODEL KIM
Bean menawarkan model keadaan kritis untuk menggambarkan magnetisasi superkonduktor yaitu dengan mengasumsikan bahwa kerapatan arus kritis tidak bergantung pada medan magnet. Pada tahun yang sama Kim,Hempstead dan Strnad memperluas model Bean dengan memasukkan medan magnet ketergantungan dalam rapat arus kritis. Efek medan magnet yang diterapkan pada arus kritis pada suhu tinggi sangat berhubungan dengan struktur vorteks. Medan magnet dalam ini dihasilkan oleh arus yang diinduksi dalam sampel. Berikut persamaan yang menjelaskan tentang arus kritis dan medan magnet yang diberikan pada superkonduktor menurut model kim. 
 Dimana a dan Ho adalah konstanta yang didapat dari eksperimen dan H adalah medan magnet yang diberikan.  Akan tetapi persamaan ini tidak cocok untuk medan magnet yang bergantung pada arus kritis saat temperatur tinggi, sehingga model ini dikembangkan lagi dengan mengasumsikan a/ j sebanding dengan Hn dan medan magnet bergantung pada arus kritis maka didapatkan persamaan model kim sbb:
 dimana JcKIM (H) adalah kerapatan arus kritis dalam model Kim.  Akan tetapi model Kim tidak berjalan dengan praktis. Ada dua alasan utama untuk kegunaan kurang praktis dari model Kim. Yang pertama adalah dua konstanta k dan H0 yang terlibat dalam model ini hanya memiliki satu persamaan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa model bentuk perkolasi kritis adalah sebuah pendekatan alternatif untuk menggambarkan bentuk HTS.



C.     MODEL EKSPONENSIAL
1.      Medan yang meningkat
Disini kita mengasumsikan superkonduktor telah didinginkan di bwah suhu kritis di daerah nol, saat medan meningkat terus maka flux akan menembus bahan. disini densitasnya dB/dx > 0 . dengan demikian jy = - Jc dimana pada model ini Jc (B) diberikan seperti pada gambar dibawah ini:
Sehingga :

Pada tahap pertama, fluks magnetisasi memasuki sampel hanya dilapisan luar dengan ketebalan S. Kedalaman penetrasi ini diberikan oleh . Tahap awal ini berlangsung sampai di b, untuk melengkapi penetrasi tersebut maka:  .

b





Gambar di atas merupakan magnetostriktif  (kolom kiri) dan magnetisasi (kolom kanan) untuk a. Model bean, b. Model kim, c. Model ekpsponensial.
Berikut grafik perbandingan antara model bean, kim dan model eksponensial :
                                                
Gambar di atas merupakan hubungan antara gaya pinning dengan arus kritis pada magnetic flux densiti untuk bentuk model kritis yang berbeda-beda.
















DAFTAR PUSTAKA
 Bean, C.P. 1964 Magnetization of high-field superconductors, Rev. Mod.
Phys., 36, 31-39.
Diantoro, Markus. 2010. Superkonduktor. FMIPA UM.
Inanir.F.et al. 2008. Modelling of normal state like contribution on the pinning induced magnetostriction. Physica C 468 hal. 39-46.
L. Prigozhin. 2003. On the Bean critical state model in superconductivity.
Woch, M.P.et al.2008. Kim Type Critical State Models and Critical Currents of Thallium Based superconductors. Vol.114  No.1 Acta Physica Polonica A.
Y.B. Kim, C.F. Hempstead, A.R. Strand, Phys. Rev. Lett. 9, 306 (1962).

Y.B. Kim, C.F. Hempstead, A.R. Strand, Phys. Rev. 129, 528 (1963).







Disini kita mengasumsikan superkonduktor telah didinginkan di bwah suhu kritis di daerah nol, saat medan meningkat terus maka flux akan menembus bahan. disini densitasnya dB/dx > 0 . dengan demikian jy = - Jc dimana pada model ini Jc (B) diberikan seperti pada gambar dibawah ini:
Sehingga :

Pada tahap pertama, fluks magnetisasi memasuki sampel hanya dilapisan luar dengan ketebalan S. Kedalaman penetrasi ini diberikan oleh . Tahap awal ini berlangsung sampai di b, untuk melengkapi penetrasi tersebut maka:  .

b





Gambar di atas merupakan magnetostriktif  (kolom kiri) dan magnetisasi (kolom kanan) untuk a. Model bean, b. Model kim, c. Model ekpsponensial.
Berikut grafik perbandingan antara model bean, kim dan model eksponensial :
                                                
Gambar di atas merupakan hubungan antara gaya pinning dengan arus kritis pada magnetic flux densiti untuk bentuk model kritis yang berbeda-beda.
















DAFTAR PUSTAKA
 Bean, C.P. 1964 Magnetization of high-field superconductors, Rev. Mod.
Phys., 36, 31-39.
Diantoro, Markus. 2010. Superkonduktor. FMIPA UM.
Inanir.F.et al. 2008. Modelling of normal state like contribution on the pinning induced magnetostriction. Physica C 468 hal. 39-46.
L. Prigozhin. 2003. On the Bean critical state model in superconductivity.
Woch, M.P.et al.2008. Kim Type Critical State Models and Critical Currents of Thallium Based superconductors. Vol.114  No.1 Acta Physica Polonica A.
Y.B. Kim, C.F. Hempstead, A.R. Strand, Phys. Rev. Lett. 9, 306 (1962).

Y.B. Kim, C.F. Hempstead, A.R. Strand, Phys. Rev. 129, 528 (1963).