Rabu, 04 Januari 2012

Kisah Jono dan Mawar

kisah jono dan mawar

Kisah ini berawal ketika aku tidak diizinkan masuk di sekolah yang kuinginkan.

Pagi itu aku merasakan kesedihan, karena ibuku tidak memberiku izin bersekolah di SMP yang kupilih. Sejak kecil aku ingin mendalami ilmu agama dengan baik. Tapi ibuku tidak tega melihat aku yang masih terlalu kecil untuk jauh dengan orang tua, karena aku anak terakhir dan juga aku memiliki bulek (sebutan untuk adik perempuan dari orangtuaku) yang pandai mengaji.  

“Mawar, kamu duduk denganku ya..”ujar Bila teman baruku.
“iya….”balasku santai.

Semua orang melihatku dengan pandangan, entah aku sendiri tak mampu menafsirkan. Yang jelas aku menemukan keramahan pada teman-teman baruku. Dan aku pun berkenalan dengan teman belakang bangkuku, yang ternyata akan menjadi musuh bebuyutanku. Seorang laki-laki gunung yang pendiam, dan jika tertawa aku rasa sangat aneh.  

Hari-hari aku lalui dengan wajar-wajar saja hanya  aku kurang begitu suka bicara. Aku mengikuti banyak aktifitas di sekolah seperti OSIS, teater, pramuka, dan paduan suara, hanya untuk sekedar iseng-iseng saja, memenuhi rasa penasaran dan tantangan dari saudaraku.

*****

“Jono, kamu dapat nilai berapa?”tanyaku menyelidik.
“80, kamu?”dia balas bertanya.
Aku hanya diam karena nilai kami sama.

Ujian pertama kami adalah awal pertarungan kami merebut harkat dan martabat sebagai kesatria. Istilah ini sedikit berlebihan, tapi tak apalah. Dan seperti sesuatu yang sudah direncanakan, aku mengikuti kursus bahasa inggris yang sama dengan Jono.

Entah kenapa, laki-laki gunung ini suka sekali membuatku marah, entah itu pinjam sepedaku untuk dimainkan rodanya, entah itu memegang jilbabku. Selalu membuatku risih. Dasar laki-laki gunung yang usil.
Sudah hampir kenaikan kelas, sikapnya menjadi aneh, dia resah setiap kali aku ada. Dan pada siang itu, dia memndekati bangkuku yang sudah tidak lagi berdekatan dengannya. Jono bilang suka pada gadis yang ada di depanya sekarang.
Omong kosong.
“Kamu nglindur, Jon??”tanyaku keheranan.
“100% sadar”,tegasnya. 

Semenjak itu kehangatan dalam pertempuran itu mulai memudar, karena secara diam-diam aku membututi setiap gerak kakak kelasku sejak awal masuk sekolah dulu. Entah perasaan apa, aku hanya ingin menjadi pengintai yang handal, seperti Detektif Conan.

Kelas 2, aku tak lagi sekelas dengan Jono. Ada satu teman kelas ini yang tak pernah kucoba mengenalnya, Dodo panggilan akrabnya.

Ternyata intaianku sering gagal karena aku sendiri takut saat aku terpergoki. Tapi anehnya, tak jarang kudapati surat-surat berwarna-warni yang selalu disampaikan oleh teman-teman dekatku, perasaan yang selalu menghinggapiku adalah takut, seakan-akan aku diteror. Tanpa harus membacanya surat itu melayang kedalam tong sampah secara sadis. Aku yang tidak biasa mendapati surat cinta, tak kuasa untuk memegang apalagi membacanya. Dengan berjalannya waktu, aku mengumpulkan keberanian membaca surat. Lambat laun,  hatiku pun luluh untuk membalas surat-surat itu.

Di dalam kelas ini, sering kudengar desas-desus mengenai Dodo yang beginilah-yang begitulah. Dan benar dugaan temanku, dia menyatakan perasaannya di depanku seusai kutunaikan kewajiban sebagai muslimah.
Aku tak habis pikir dengan orang-orang itu, sebenarnya apa yang mereka inginkan selain berteman dan bersahabat waktu itu. Lagipula aku merasa masih kanak-kanak, memang kenyataannya aku masih ingusan dan tidak mengerti istilah pacaran.

Aku juga pernah mendapatkan kebaikan yang tak pernah kuduga dari adik kelasku seorang kristian taat keturunan Tionghoa memberikan hadiah padaku dengan cara memaksaku untuk menerimanya. Tino namanya, dia menyampaikan perasaannya melalui sahabat perempuannya padaku.
Bak artis ketiban durian. Dimanapun tempatnya, entah itu di ruang OSIS, teater dan juga pramuka, selalu aku yang dijadikan pembicaraan orang-orang, begitu juga para pembinaku. Kelas dua bak godam yang memukul-mukul kepalaku.

Pagi itu kudengar kabar dari teman-temanku, Jono jadian dengan teman sekelasnya, seorang penyanyi dangdut yang cantik. Benar-benar cantik. Tiba-tiba, aku merasakan seakan-akan ada api yang menjalar keseluruh tubuhku dan berpangkal di ulu hatiku. Entah kenapa, aku merasa, sakit, sakit sekali, seperti ditusuk sebilah pisau pada ruang dadaku.
Tak kusangka, dia berpacaran  dengan gadis itu.

*****

Tiap minggu aku menerima surat dari laki-laki yang menemuiku di jalan saat aku pulang sekolah. Dan hubungan berlanjut, dia adalah sahabat penaku.
Aku merasakan ada yang kosong dan sebagian semangatku telah mongering, kakak kelasku telah lulus. Aku menangis di dalam hati. 

“Mawar, sekolah lah di SMAku saat ini”, ujarnya dengan penuh hati-hati.
“Aku tidak bisa janji Mas Zain”, jawabku singkat sambil berlalu. Karena aku tak tahan berada dekat dengannya, aku takut air mataku tumpah di depannya.
Kelas 3, aku sekelas lagi bersama teman-teman kelas 1-ku dulu.

Ya,
Satu kelas dengan Jono. Dia sudah lama putus dengan pacarnya.
“Gak pacaran lagi , Jon?”
“Gak, aku gak akan pacaran lagi sampai lulus SMA”, jawabnya tegas.
Setelah perpisahan dengan teman-teman kelasku. Aku bersekolah jauh di kota pondok pesantren. Aku tak lagi bertemu dengan teman-temanku. Seakan-akan aku terasing, padahal tidak, aku hanya jarang bertemu dengan teman-teman SMP – ku. Agar terlihat mendramatisir saja.

*****

Akhirnya aku lulus SMA,
Jono menelponku di ponsel Ibuku, dia benar-benar memenuhi janjinya.
“Kapan kamu membuka hati, terutama untuk aku?”tanyanya deng
an sedikit nada kesal padaku.
“Maksudmu apa?”
“Apa kamu langsung menikah dengan sistem perjodohan?”
“Ah, ngawur kamu, aku belum siap, Jon, kalau harus bermain hati, aku takut aku tak mampu menjaga nafsuku”
“Baiklah, jika itu maumu, aku akan menunggu sampai kamu siap”klik..percakapan kami pun terputus.

Hari  ini Jono akan berangkat ke Depok untuk melanjutkan kuliahnya, dan satu minggu lagi aku juga harus berangkat ke malang untuk kewajiban baruku sebagai mahasiswa.
Tidak ada ucapan perpisahan, hanya diam dan puisi-puisi memenuhi ponsel baruku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.

3 bulan sudah aku beradaptasi pada dunia baruku yaitu kampus. Hari-hariku dipenuhi dengan rumus dan angka-angka karena aku mengambil jurusan Fisika.
Kami sudah jarang berkomunikasi, entah itu hp maupun internet.
Tapi tak lama kemudian, Jono menghubungiku.
“Mawar, menurutmu aku tetap di Depok apa aku pindah ke Tangerang?”
“Oh, selamat ya, kamu lolos seleksi STAN, ya terserah kamu, Jon”.
“Kamu lebih suka mana cowok STAN apa UI?”
“Wah..aku gak tau, bukannya dulu kamu pernah bilang ingin masuk STAN?”tanyaku agak sedikit bingung juga.
“Baiklah, makasih ya..”
“Buat apa?”klik…terputus…

Setiap kali aku diajak ketemuan aku selalu menolak. Dan hari itu Jono jadian dengan tetangga rumahku yang masih SMA.

Aku jadi tidak habis pikir dengan sifat manusia yang penuh dengan khilaf. Satu minggu kemudian, 15 Januari 2010

Suatu hari burung  jatuh cinta pada mawar putih,
Burungpun berusaha mengungkapkan perasaannya,
Akhirnya, mawar putih berkata, “ aku akan mencintai kamu, jika kamu dapat mengubahku menjadi mawar merah!”
Dan  suatu hari burung datang kembali, dia memotong sayapnya dan menebarkan darahnya pada mawar putih, hingga dia berubah menjadi merah
Akhirnya, mawar sadar seberapa besar burung mencintai dirinya
Tapi semua terlambat, karena burung tak akan kembali lagi ke dunia.
Pesan singkat yang mampu menggetarkan dari ujung rambut sampai ujung kakiku, aku tak lagi mampu menutupi perasaanku padanya, jika dia tahu, selama ini aku tidak pernah menghapus puisi atupun syair-syair lagu yang dia kirimkan padaku.

Dan pesan terakhir darinya:
Jika kamu menemukan seseorang yang kamu cintai di sana, aku hanya berdoa semoga itu yang terbaik untukmu, karena aku sungguh takut mengecewakanmu, dan aku berharap suatu saat nanti hati kita bisa menjadi satu.

 Malang, 1 Mei  2011
12:51 pm (cerpen editan)
Comments
0 Comments

Posting Komentar

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( :-q =))