Mojoagung, 29 Agustus 2011, Nurul Cholisoh hanya bisa terenyuh melihat peristiwa tidak manusiawi menurut kacamatanya. Setiap tahun masih saja terjadi pembagian zakat dengan cara mengantri seperti antri beli karcis di peron. Semua orang tidak peduli tua ataupun muda berebut zakat di tengah-tengah terik panas matahari. Mereka berdesakan, tidak mau mengalah, yang terpenting adalah dapat jatah mereka. Tak jarang pula mereka melakukan kecurangan di luar sepengetahuan amil (pembagi zakat), mengambil jatah yang bukan haknya.
Menurut Nurul,” Harusnya pembagian zakat itu dibagikan ke setiap rumah, klo kayak gitu kelihatan riya’nya”. Setiap tahun televisi menayangkan korban-korban cedera akibat antrian yang tidak mau antri dan menyerobot. Tapi bagi Bu W [Red. bukan nama sebenarnya], orang yang mengeluarkan zakat, hal itu adalah hal biasa yang akan diterima oleh para penerima zakat, bisa dibilang resiko kaum dhuafa’.
Bagi sebagian orang menganggap bahwa itu kurang efektif jika harus diterapkan cara yang sama setiap tahun, yaitu dengan mengantri. Disamping juga tidak manusiawi seperti yang diungkapkan Nurul. Tapi, bagi para penerima zakat semua resiko itu akan diabaikan demi mendapatkan rezeki, asalkan ada yang dimasak dan dimakan untuk mengisi perut mereka nanti malam dan lusa.
Sebenarnya tidak sedikit orang-orang yang mempunyai kekayaan lebih berbagi zakat dengan cara membagikan ke rumah mereka. Seperti yang dilakukan oleh Bu Mas yang meminta tolong orang terpercaya untuk membagikan zakat mal dan fitrahnya. Sehingga tidak banyak orang yang tahu kebaikan yang dilakukan. Cara seperti itu bagi para penerima zakat memang lebih sangat terhormat dari pada harus mengantri seperti manusia yang tidak berakal saja.
Meskipun demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa mereka itu adalah serakah, karena mereka memang sangat mebutuhkan untuk menyambut hari kemenangan bagi seluruh umat muslim yang tidak mengenal pangkat dan jabatan.